Kamis, 07 Maret 2013


Memahami Tujuan Pernikahan
Menikah dalam Islam adalah ibadah, bahkan penyempurnaan dari keimanan seorang Muslim. Dengan kata lain, pernikahan adalah sarana yang baik untuk menempa diri menjadi Muslim sejati. Karena di dalam pernikahan setiap jiwa akan diuji komitmennya, ketakwaannya, termasuk kesabarannya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah  bersabda, ”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” 
Jadi, salah satu tujuan menikah adalah untuk beribadah dengan cara menegakkan syari’at Islam secara kaffah dalam sebuah perjanjian yang sangat kokoh (mitsaqon gholidha).(QS. An-Nisa’[4] : 21). Dan, segala sesuatu kebaikan dan kenikmatan yang ada dalam pernikahan itu tergolong perbuatan yang terpuji.  Maka, tidak heran jika Allah mengkategorikan hubungan suami istri sebagai sedekah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah.” 
Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “Jawab para shahabat: “Ya, benar”. 
Beliau bersabda lagi: “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!” (HR. Muslim, Ahmad dan Nasa’i).
Dengan demikian, maka akhlak manusia akan terjaga. Pandangan bisa ditundukkan, syahwat bisa dikendalikan. Dan, lahirnya generasi-generasi mulia pun bisa kita harapkan. Dengan demikian, maka tujuan pernikahan dalam Islam sungguh-sungguh sangat mulia. Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bentuk komitmen yang sangat kuat. Oleh karena itu, Islam sangat membenci perceraian, meski tetap membolehkannya.
Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.” (HR: Abu Daud dan Hakim).
Lebih jelas lagi dalam al-Qur’an Allah tegaskan bahwa tujuan pernikahan itu adalah agar setiap jiwa meraskan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar Ruum [30]: 21).
Prioritaskan Iman Demi Masa Depan Keturunan
Memperhatikan tujuan pernikahan tersebut, maka jelas perceraian adalah perkara yang sebisa mungkin harus dihindari. Sejauh pasangan kita memiliki komitmen iman dan takwa yang kuat, sekalipun keluarga masih berada dalam kondisi ekonomi yang belum baik, bertahan di dalamnya adalah sangat mulia.
Sebagai seorang Muslim, kita tidak boleh hanya menatap situasi zaman sekarang, yang menjadikan materi sebagai tujuan dan standar kemuliaan.
Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah adalah contoh pasangan yang ideal secara iman dan takwa, meskipun suami istri harus membanting tulang menghidupi kebutuhan keluarga. Akhirny, dari pernikahan itu, lahir Hasan dan Husein yang berakhlak mulia.
Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar. Usai mengantarkan istri dan bayinya, Isma’il di lembah tandus, Nabi Ibrahim seketika meninggalkan dua manusia yang dikasihinya itu. Dan, Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar tetap dalam pernikahan, meskipun keduanya lama tak bertemu.
Kedua pasangan hebat itu, menyerahkan sepenuhnya apa yang terjadi kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Demi iman, keduanya tetap bertahan. Bahkan, seorang Hajar mampu membesarkan Ismail menjadi sosok pemuda yang sangat luar biasa. Dan, Allah anugerahkan kemuliaan kepada Nabi Isma’il dengan mengambil satu dari keturunannya sebagai Nabi akhir zaman, yakni Nabi Muhammad.
Artinya, dalam pandangan seorang Muslim, iman lebih utama dari apapun, terutama dalam upaya untuk mempertahankan ikatan pernikahan dan masa depan keturunannya. Kita bisa bayangkan, bagaimana nasib anak-anak yang menjadi korban perceraian dari sebuah pernikahan?
Padahal, sekalipun pasangan suami istri telah bercerai, kewajiban terhadap anak tetap menjadi tanggung jawab keduanya. Oleh karena itu, prioritaskanlah iman dalam mengambil keputusan. Jangan sampai, karena keegoisan, akhirnya lebih memilih perceraian.
Padahal, perceraian hanyalah sebuah jalan pintas terlepas dari masalah, tetapi sebenarnya justru semakin menumpuk-numpuk masalah, baik masalah pribadi, keluarga, lebih-lebih juga masalah sosial. Jadi, mari kita kuatkan terus ikatan pernikahan yang telah kita miliki. Genggam sekuat tenaga dan jangan lepas, kecuali ajal telah tiba.
Oleh: Imam Nawawi, penulis buku “Sabar Membawa Nikmat”
(esqiel/hidayatullah/muslimahzone.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar